Ironi Bumi Para Samurai

3 04 2009

Jepang, sebuah negara dengan beribu dinamika. Dari sisi manapun kita melihat Jepang, hampir di setiap sisinya kita temukan keunikan tersendiri. Dari sisi geografis misalnya. Kita mengenal Jepang sebagai tempat bertemunya arus dingin dan arus hangat laut sehingga mempunyai hasil ikan yang melimpah. Dari sisi kebudayaan kita mengenal Jepang sebagai salah satu negara maju yang masih menjunjung tinggi budaya leluhur. Atau dari segi sejarah, kita juga mengenal Jepang sebagai negara bumi para samurai yang rela mati demi mempertahankan harga diri.

Jepang adalah sebuah negara kepulauan yang memiliki sekitar 3700 buah pulau yang membentang di kawasan Timur Asia. Hokkaido, Honshuu, Shikoku dan Kyushuu adalah pulau – pulau utamanya, Tokyo yang merupakan ibukota Jepang, terletak di salah satu pulau utama tersebut yaitu di pulau Honshuu. Negara yang mempunyai luas 381.269 km persegi ini mempunyai jumlah penduduk sekitar 128 juta jiwa, dengan penghasilan perkapita sebesar US$. 34.500 per orang per tahun, yang menempati rangking ke 22 di dunia.

Dengan gambaran tersebut dapat dikatakan bahwa Jepang merupakan sebuah negara kecil yang cukup maju. Jika menilik sejarah Jepang, kita akan menemukan bahwa kurun waktu kebangkitan Jepang dari keterpurukannya sampai menjadi negara maju seperti sekarang kurang dari setengah abad. Sebuah perkembangan yang luar biasa. Jepang yang dahulu pernah menjadi rival utama negara – negara adidaya dunia, dan mengakhiri rivalitas tersebut dengan kekalahannya di Perang Dunia ke – 2, kini sudah menjadi bagian dalam percaturan kehidupan dunia, khususnya ekonomi.

Namun, terdapat poin penting yang kadang dilupakan ketika kita membicarakan kebangkitan Jepang. Bahwasanya dalam proses ini, banyak sekali kepentingan negara adi daya yang bermain, khususnya Amerika Serikat. Karena, pada masa pasca perang dunia kedua Amerika Serikat memanfaatkan Jepang untuk membentengi persebaran paham komunisme dari China agar tidak menjangkiti negara – negara di kawasan Selatan. Dengan dalih demi keamanan dunia, demokrasi dan lain – lain, Jepang akhirnya dituntun untuk menjadi negara yang “lunak”, dan sedikit demi sedikit meninggalkan idealismenya.

Masih segar dalam ingatan dunia bahwa pasca perang dunia kedua masa Jepang untuk kembali bangkit. Entah cocok atau tidak ketika dikatakan kebangkitan. Memang di satu sisi Jepang mengalami perbaikan di beberapa bidang, khususnya politik seperti penyusunan kembali Undang – Undang Dasar Jepang, dan di bidang ekonomi seperti pembubaran konglomerasi. Namun, di sisi lain, Jepang juga harus menerima beberapa kebijakan yang cukup melemahkan seperti pelarangan angkatan perang atau reposisi Tennou sebagai manusia biasa.

Dalam jangka panjang, aturan – aturan yang beberapa masih berlaku sampai sekarang ini cukup membawa angin segar bagi perkembangan Jepang. Bahkan disadari atau tidak, bahwa kemajuan yang telah diraih Jepang saat ini merupakan salah satu efek tidak langsung dari kesepakatan tersebut. Namun diantara berbagai kemajuan ekonomi, ternyata ada pula kemunduran yang terjadi. Kemunduran terjadi khususnya dalam bidang sosial kemasyarakatan. Bukan dalam hal yang bersifat fisik, tetapi lebih kepada hal – hal yang bersifat non fisisk, dalam hal ini adalah paradigma umum masyarakat Jepang.

Kehilangan identitas, itulah gambaran yang (menurut saya) tepat untuk menggambarkan keadaan sosial masyarakat Jepang sekarang. Khususnya para kawula muda Jepang yang sangat berkiblat ke Barat dan seperti tidak bangga dengan identitas Jepangnya. Suatu gejala yang mengkhawatirkan ketika banyak sekali wanita – wanita Jepang yang rela memperbesar mata melalui operasi atau mengecat tubuhnya dengan warna coklat.

Masalah lain adalah kapitalisme dan Individualisme yang ternyata saling berhubungan. Kapitalisme yang merasuk dalam sendi – sendi kehidupan mayarakat menyebabkan individualisme meningkat. Hal ini akhirnya menyebabkan tumbuhnya hedonisme di kalangan masyarakat, yang akhirnya menjadikan sebagian warga Jepang enggan menikah yang menyebabkan proses pertumbuhan penduduk terhambat, yang efek jangka panjangnya adalah harapan hidup yang kian rendah.

Masyarakat Jepang yang kian jauh melangkah kian jauh juga mereka dari nilai – nilai luhur budayanya. Sebuah hal yang ironis ketika negara Jepang yang pernah menjadi bumi para Samurai, atau Jepang sebagai negara yang pernah menjadi negara pengusung Pan Asianisme , kini hanya menjadi negara yang berada di bawah bayang – bayang mainstream Barat.