Benarkah Kita adalah Bangsa yang Tertinggal?

13 02 2009

“ Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
(QS. Ali Imran [3]: 110)

Islam adalah agama yang besar. Ratusan tokohnya memimpin peradaban dunia selama berabad-abad. Nama-nama seperti Rasulullah Muhammad SAW, Abu Bakar, Umar bin khattab, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Shalahudin al Ayyubi, Muhammad al Fatih, Ibnu Sina, dan lain-lain adalah orang-orang tangguh yang menyusun batu-batu fondasi hingga terbentuk bangunan megah bernama peradaban Islam. Spanyol, Cordova, Turki, dan Barcelona adalah kota-kota yang menjadi ikon peradaban Islam beberapa abad silam. Namun, saat ini keadaan berubah. Islam tidak lagi menjadi pemimpin peradaban dunia. Hal demikian terjadi karena syar’iah Islam mulai ditinggalkan.

Di bawah deraan perang pemikiran, orientalisme, sekulerisme, kapitalisme, dan liberalisme, Islam yang dahulu menjadi saka guru peradaban dunia, sekarang tidak lebih hanya dipahami sebagai agama yang formalis (ritual). Islam yang sebenarnya adalah agama yang menyeluruh, yang mencakup seluruh aspek kehidupan dipahami sebatas ritual peribadatan yang tidak berkaitan dengan kehidupan sehari-hari secara nyata. Bahkan ada pula yang memahami islam hanya sebatas agama yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.

Parahnya, pemahaman yang demikian tidak hanya dimiliki oleh satu-dua orang saja, tetapi ratusan, bahkan ribuan muslim di seluruh penjuru dunia.

Ibnu Khaldun dalam al-Muqaddimah-nya menganalogikan sebuah proses peradaban dengan kehidupan manusia. Dikatakan bahwa sebuah peradaban pasti akan mengalami masa-masa pertumbuhan, konsolidasi, keemasan, pembusukan, dan keruntuhan. Dikatakan juga bahwa keruntuhan suatu bangsa hampir selalu diawali dengan kebangkitan bangsa lain yang melanjutkan peradaban sebelumnya. Sebagai penerus bangsa yang terdahulu, yang belum semaju dan secanggih bangsa sebelumnya, bangsa yang baru muncul tersebut cenderung meniru bangsa yang pernah menjajahnya dalam segala hal, mulai dari cara berpikir dan bertutur kata sampai dengan tingkah laku dan busana. Proses meniru ini biasanya berlangsung selama tiga sampai empat generasi. Sedangkan penyebab kehancuran suatu peradaban itu sendiri adalah rusaknya sumber daya manusia, baik secara intelektual maupun secara moral. Peradaban dapat runtuh karena materialisme, yakni kebiasaan hidup malas dan bermewah-mewahan penguasa dan masyarakatnya.

Ibnu Khaldun menjelaskan ada sepuluh perkara yang menyebabkan runtuhnya suatu peradaban, yaitu: (1) rusaknya moralitas penguasa; (2) penindasan oleh penguasa dan ketidakadilan; (3) despotisme atau kezaliman; (4) orientasi kemewahan masyarakat; (5) egoisme; (6) oportunisme; (7) penarikan pajak secara berlebihan;() keikutsertaan penguasa dalam kegiatan ekonomi rakyat; (9) rendahnya komitmen masyarakat terhadap agama, dan (10) penggunaan pena dan pedang secara tidak tepat (media massa dan peperangan).

Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang paling berpengaruh dalam proses keruntuhan suatu peradaban adalah orang-orang yang berperan dalam peradaban itu sendiri. Jika orang-orang yang berada dalam peradaban rusak, niscaya peradaban mereka pun akan rusak, walaupun ada juga pengaruh eksternal yang mempengaruhi sebuah peradaban.

Yang terjadi sekarang adalah “bola” peradaban sedang dipegang oleh bangsa Barat. Hampir taka ada satu pun bangsa di dunia ini yang lepas dari pengaruh Barat, baik dalam hal ekonomi, politik, keamanan, dan sebagainya. Seluruh pengetahuan dan penemuan baru dimulai dari bangsa Barat. Kondisi bangsa Barat saat ini bisa dikatakan sama dengan kondisi Islam beberapa abad silam.

Dengan kondisi seperti sekarang ini, tidak berkiblat kepada Barat adalah suatu sikap yang naïf bagi orang-orang yang berpikir pragmatis. Padahal tidak semua yang dibawa Barat cocok diterapkan, terutama bagi umat muslim. Bahkan dikatakan oleh seorang ilmuwan muslim, Muhammad Assad bahwa peradaban yang memuja materi dan anti agama idealnya tidak dijadikan kiblat bagi umat muslim yang mengetahui tauhid. Demikian juga dalam Crossroad, dikatakan bahwa penjiplakan kaum muslim baik secara individual maupun sosial terhadap gaya hidup Barat adalah bahaya besar bagi eksistensi dan kebangkitan kembali peradaban Islam.

Menyongsong Kembali Kebangkitan Islam

Berdasarkan penjelasan Ibnu Khaldun tentang kebangkitan suatu peradaban, jika umat islam ingin membangun kembali peradabannya, umat islam harus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa itu, kebangkitan hanya akan menjadi utopia belaka.

Wujud suatu peradaban merupakan produk akumulasi tiga elemen penting, yakni (1) kemampuan manusia untuk berpikir yang menghasilkan sains dan teknologi; (2) kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer; dan (3) kesanggupan berjuang untuk hidup.

Dengan demikian, penguasaan peradaban berbanding lurus dengan kualitas umat, baik dari segi ilmu pengetahuan, teknologi, politik, dan militer. Semua itu mustahil dicapai tanpa keimanan yang kuat kepada Allah SWT.

Rasulullah bersabda bahwa akan datang suatu zaman ketika umat islam hanya akan menjadi seperti buih di lautan. Hal tersebut terjadi karena pada saat itu umat islam dihinggapi dua penyakit, yaitu cinta dunia dan takut mati.

Renungkanlah.
Allahu’alam bishowab.