Sepuluh Tahun Reformasi, Saatnya Introspeksi Diri

2 06 2008

Satu dasawarsa silam, tepatnya 21 Mei 1998, pekik reformasi mulai ramai dikumandangkan. Euphorianya seolah memecah kebungkaman yang telah terbangun selama 32 tahun rezim Soeharto. Saat itu gerakan mahasiswa telah menjadi sebuah bola salju yang besar sehingga sanggup menumbangkan rezim militeristik yang telah berdiri selama 32 tahun.

Tahun ini, reformasi telah bergulir genap 10 tahun. Empat kali sudah pemerintahan berganti sejak reformasi digulirkan. Namun, belum ada dampak yang signifikan yang dapat dirasakan masyarakat. Justru setelah reformasi bergulir, banyak orang yang merasa kehidupannya bertambah susah. Aspirasi mahasiswa senbagai ujung tombak gerakan tidak lagi dijadikan pertimbangan pemerintah sebelum menerbitkan kebijakan.

Berkaca dari fakta di atas, tentu harus di lakukan sebuah introspeksi. Pola – pola gerakan konvensional seperti demonstrasi perlu dikaji ulang keefektifannya. Karena di tengah masyarakat yang bebas berpendapat seperti sekarang ini melakukan demonstrasi bukanlan menjadi sesuatu yang menarik perhatian, baik dari masyarakat maupun pemerintah. Salah – salah sebuah demonstrasi akan dicap sebagai ikut – ikutan semata atau ditunggangi pihak tertentu. Mengutip sebuah perkataan dari Sri Bintang Pamungkas, bahwa berteriak di saat semua orang berteriak adalah hal yang biasa. Namun berani berteriak di saat semua orang diam adalah sesuatu yang luar biasa.

Memang, tak dapat dipungkiri bahwa demonstrasilah yang telah berhasil menumbangkan rezim militeristik Soeharto, namun jangan sampai gerakan mahasiswa terjebak oleh romantisme tersebut. Fadjroel Rahman, mantan aktivis ITB 1989, dalam sebuah tulisannya berjudul Selamat Tinggal Reformasi 1998, dikatakan bahwa Setelah kehilangan arah dan terjebak dalam romantisme kejatuhan Soeharto pada 1998 kita dapat mengucapkan selamat tinggal reformasi 1998. Namun, ini justru momentum bagi lahir- nya gerakan mahasiswa 2008, 2009, atau sesudahnya. Angkatan baru ini perlu menelaah kegagalan Angkatan 1998, lalu menyiapkan agenda, organisasi, kepemimpinan, dan basis massa baru, serta teliti melihat momentum politik (militer dan birokrasi) serta ekonomi (nasional dan global), lalu menggerakkan arah konfrontasinya sendiri.

Kita adalah mahasiswa, kaum terpelajar yang hanya berjumlah sekitar 2% dari seluruh penduduk Indonesia. Lalu, jumlah yang kecil tersebut harus diperkecil lagi dengan fakta bahwa, di tengah terpaan arus kapitalisme dan hedonisme ini, hanya ada sekitar satu mahasiswa yang aktif, peduli dengan nasib bangsa dari 10 mahasiswa pada umumnya. Jangan sampai aspirasi masyarakat yang ada di pundak sedikit orang ini tidak didengar karena ketidakefektifan gerakan.